Pengertian Jujur
Mukadimah
Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi
pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi
luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri.
Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak
masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang
terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang,
sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai
sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam
jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri
sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi
bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa
kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa
jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai
seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa
kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang
senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah
sebagai seorang pendusta.”
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi,
kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur,
tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga
ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu
sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah
dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang
berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang
munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan
dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama
berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang
pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran
merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan
sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan
nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara
kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah
mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu
menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan
mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan
kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama,
dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan
yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan
mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist
yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum
berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang
diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka.
Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus
diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus
keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita
dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya
lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah
dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan
nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang
dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda
dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau
lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya
perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga
rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan,
kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara
pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan
kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan
kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam
berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang
mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan
sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan
dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya
mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’
mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik
dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya
semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu
daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali
kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan
celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul
dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan
keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup,
pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta
simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan
kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur
dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka
pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS.
al-Maidah: 119)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang
demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak
meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan,
(mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam Kejujuran
- Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
- Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
- Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dan di antara mereka ada orang yang
telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian
karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk
orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian
dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS.
at-Taubah: 75-76)
- Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
- Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin
seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara
sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada
kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan
sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah
berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya.
Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan
tidak senang orang lain mengetahuinya.
Khatimah
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan,
perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah
memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya
berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara
masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’:
80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk
dijadikan buah tutur yang baik.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang)
kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan
terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan
didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang
yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik
berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang
jujur dan benar. Allah berfirman,
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS.
al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal
lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta
keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi
menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan
diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab
itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan
kejujuran, sebagaimana firman Allah,
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman
dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan
(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar.” (QS. al-Hasyr: 8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana
firman Allah,
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali
Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia
dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia
mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan
menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang
diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam
ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa
menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang
yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di
neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang
yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang
yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan
mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan
menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan
dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)
Ada beberapa aspek JUJUR dalam Islam:
Pertama, Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah menyatakan dengan sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)
Kedua, kejujuran dan kebohongan dalam kehidupan politik; ada hadits yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah bersabda: "Ada tiga kriteria manusia yang tidak dilihat dan disucikan Allah swt. di hari akherat bahkan bagi mereka adzab yang pedih adalah: Orang sudah tua yang berzina, Pemimpin yang berdusta, dan Orang sombong.
Adapun kebohongan yang diperbolehkan dalam kaitan untuk kegiatan berpolitik, yaitu apabila kebohongan itu bisa meredam keributan sosial agar tidak terjadi perpecahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. memberi keringanan seperti dalam hadis dari Ummi Kaltsoum: "Saya tidak mendengar Rasulullah saw. memberi keringanan pada suatu kebohongan kecuali tiga masalah: Seseorang yang membicarakan masalah dengan maksud mengadakan perbaikan (Islah); seseorang membicarakan masalah pada saat konflik perang (agar selamat), dan seseorang yang merayu istrinya begitu juga istri merayu suami.(HR. Muslim) Ada juga hadits yang menyatakan, Rasulullah bersabda: "Bukanlah pendusta orang yang ingin melerai konflik sesama, hingga orang tersebut berkata: semoga baik dan menjadi baik" (HR. Mutafaq Alaih)
Begitulah batas kejujuran dan kebohongan secara dasar yang berkaitan dengan keseharian dan politik. Dan sudah jelas bahwa tujuan dari keduanya adalah untuk sebuah kedamaian.
Namun dalam kaitan politik kontemporer yang lebih pelik lagi dan kompleks, Anda sendiri bisa memilah-milah bagaimana kehidupan politik para penguasa sekarang sangat tidak memperhatikan nilai kejujuran. Namun kita menyadari bahwa sistem negara Islam sendiri juga masih dalam perselisihan hingga sebaiknya yang perlu kita lihat adalah person atau oknum dalam memimpin kepemerintahan tersebut. Selanjutnya kita berdoa agar sistem yang memberi peluang terhadap kebohongan bisa diminimalisir. Dan itu berangkat dari sistem kepribadian kita.
Pertama, Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur'an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa' (4): 69, Al Maidah (5): 119. Begitu juga secara gamblang Rasulullah menyatakan dengan sabdanya: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke sorga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)
Kedua, kejujuran dan kebohongan dalam kehidupan politik; ada hadits yang menyatakan dengan tegas bahwa Rasulullah bersabda: "Ada tiga kriteria manusia yang tidak dilihat dan disucikan Allah swt. di hari akherat bahkan bagi mereka adzab yang pedih adalah: Orang sudah tua yang berzina, Pemimpin yang berdusta, dan Orang sombong.
Adapun kebohongan yang diperbolehkan dalam kaitan untuk kegiatan berpolitik, yaitu apabila kebohongan itu bisa meredam keributan sosial agar tidak terjadi perpecahan. Dalam hal ini Rasulullah saw. memberi keringanan seperti dalam hadis dari Ummi Kaltsoum: "Saya tidak mendengar Rasulullah saw. memberi keringanan pada suatu kebohongan kecuali tiga masalah: Seseorang yang membicarakan masalah dengan maksud mengadakan perbaikan (Islah); seseorang membicarakan masalah pada saat konflik perang (agar selamat), dan seseorang yang merayu istrinya begitu juga istri merayu suami.(HR. Muslim) Ada juga hadits yang menyatakan, Rasulullah bersabda: "Bukanlah pendusta orang yang ingin melerai konflik sesama, hingga orang tersebut berkata: semoga baik dan menjadi baik" (HR. Mutafaq Alaih)
Begitulah batas kejujuran dan kebohongan secara dasar yang berkaitan dengan keseharian dan politik. Dan sudah jelas bahwa tujuan dari keduanya adalah untuk sebuah kedamaian.
Namun dalam kaitan politik kontemporer yang lebih pelik lagi dan kompleks, Anda sendiri bisa memilah-milah bagaimana kehidupan politik para penguasa sekarang sangat tidak memperhatikan nilai kejujuran. Namun kita menyadari bahwa sistem negara Islam sendiri juga masih dalam perselisihan hingga sebaiknya yang perlu kita lihat adalah person atau oknum dalam memimpin kepemerintahan tersebut. Selanjutnya kita berdoa agar sistem yang memberi peluang terhadap kebohongan bisa diminimalisir. Dan itu berangkat dari sistem kepribadian kita.
Kisah Teladan
Suatu hari, Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba ia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas menyengat dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang buah apel itu dipungut dan dimakannya. Rasanya begitu lezat! Akan tetapi baru sertengahnya dimakan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin dari pemiliknya.
Tsabit segera pergi ke kebun itu. Ia menemui seseorang di sana. Tsabit berkata, “Aku telah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik. Aku hanya tukang kebun di sini”. Dengan nada menyesal Tsabit bertanya, “Di mana rumah pemiliknya? Aku akan datang nmenemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini”. Tukang kebun itu berkata, “Apabila engkau ingin pergi ke sana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”. “Tidak mengapa. Walaupun jauh aku akan tetap ke sana. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seizin pemiliknya. Padahal Rasulullah penah bersabda : ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia layak menjadi umpan api neraka‘, ” jawab Tsabit yang tekadnya sudah kuat.
Kemudian Tsabit pergi ke rumah pemilik kebun. Setiba di sana dia langsung mengetuk pintu dan akhirnya ia berhasil bertemu langsung dengan sang pemilik kebun yang umurnya sudah tua. Setelah memberi salam dengan sopan Tsabit berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh keluar kebun tuan. Karena itu, maukah tuan menghalalkan yang sudah kumakan itu ?”. lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya, kecuali dengan satu syarat !”. Tsabit merasa khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu, maka ia segera bertanya, “Apa syarat itu tuan ?”. orang itu menjawab, “Engkau harus mau menikahi puteriku !”. Tsabit tidak memahami maksud lelaki itu, dia berkata, “Apakah karena hanya makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus menikahi puterimu ?”. Pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit, ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan puteriku. Dia seorang yang buta, bisu dan tuli. Lebih dari itu ia adalah seorang yang lumpuh !”.
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian si pemilik kebun berkata, “Selain syarat itu, aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan”. Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangan dan pernikahan tersebut. Aku telah bertekad untuk bertransaksi dengan Allah. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada-Nya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan beberapa hari setelah itu. Ketika bertemu dengan istri baru itu, Tsabit terkejut. Ternyata ia memperoleh istri yang begitu cantik. Istrinya tidak buta, tidak bisu, tidak tuli dan tidak lumpuh. Akhirnya ia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?”. Istrinya menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa ?”. Sang istri menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah”. “Ayahku juga mengatakan bahwa aku ini bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu. Tsabit pun mengangguk. Istri Tsabit berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku dikatakan lumpuh karena tidak pernah pergi ke tempat yang dapat menimbulkan kegusaran Allah”. Tsabit sangat bahagia setelah mendengar semua itu. Nah ketahuilah bahwa di kemudian harinya, wanita inilah yang melahirkan seorang ahli fiqh Islam yang terkenal yaitu Abu Hanifah.
Suatu hari, Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba ia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas menyengat dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang buah apel itu dipungut dan dimakannya. Rasanya begitu lezat! Akan tetapi baru sertengahnya dimakan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin dari pemiliknya.
Tsabit segera pergi ke kebun itu. Ia menemui seseorang di sana. Tsabit berkata, “Aku telah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik. Aku hanya tukang kebun di sini”. Dengan nada menyesal Tsabit bertanya, “Di mana rumah pemiliknya? Aku akan datang nmenemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini”. Tukang kebun itu berkata, “Apabila engkau ingin pergi ke sana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”. “Tidak mengapa. Walaupun jauh aku akan tetap ke sana. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seizin pemiliknya. Padahal Rasulullah penah bersabda : ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia layak menjadi umpan api neraka‘, ” jawab Tsabit yang tekadnya sudah kuat.
Kemudian Tsabit pergi ke rumah pemilik kebun. Setiba di sana dia langsung mengetuk pintu dan akhirnya ia berhasil bertemu langsung dengan sang pemilik kebun yang umurnya sudah tua. Setelah memberi salam dengan sopan Tsabit berkata, “Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh keluar kebun tuan. Karena itu, maukah tuan menghalalkan yang sudah kumakan itu ?”. lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya, kecuali dengan satu syarat !”. Tsabit merasa khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu, maka ia segera bertanya, “Apa syarat itu tuan ?”. orang itu menjawab, “Engkau harus mau menikahi puteriku !”. Tsabit tidak memahami maksud lelaki itu, dia berkata, “Apakah karena hanya makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus menikahi puterimu ?”. Pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit, ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan puteriku. Dia seorang yang buta, bisu dan tuli. Lebih dari itu ia adalah seorang yang lumpuh !”.
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian si pemilik kebun berkata, “Selain syarat itu, aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan”. Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangan dan pernikahan tersebut. Aku telah bertekad untuk bertransaksi dengan Allah. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepada-Nya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan beberapa hari setelah itu. Ketika bertemu dengan istri baru itu, Tsabit terkejut. Ternyata ia memperoleh istri yang begitu cantik. Istrinya tidak buta, tidak bisu, tidak tuli dan tidak lumpuh. Akhirnya ia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?”. Istrinya menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa ?”. Sang istri menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah”. “Ayahku juga mengatakan bahwa aku ini bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu. Tsabit pun mengangguk. Istri Tsabit berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku dikatakan lumpuh karena tidak pernah pergi ke tempat yang dapat menimbulkan kegusaran Allah”. Tsabit sangat bahagia setelah mendengar semua itu. Nah ketahuilah bahwa di kemudian harinya, wanita inilah yang melahirkan seorang ahli fiqh Islam yang terkenal yaitu Abu Hanifah.
Ibrah
Kejujuran yang terpancar dari pribadi Tsabit bin Ibrahim membuat sang pemilik kebun memandang Tsabit memiliki nilai lebih di hadapannya. Ia merasa bahwa lelaki seperti ini yang memiliki iman yang kuat jarang sekali dan sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, sang pemilik berusaha agar Tsabit mau menikahi puterinya yang juga shalehah.
Komentar
Posting Komentar