kumpulan cerpen
Ibu... Aku Ingin Mengubah Bintang
Rabu, 29 Juli 2009 16:49 Widdy Apriandi
, Bagaimana kabarmu hari ini wahai para tukang
jagal?!, jerit batinku mengabarkan rintihannya tiap kali menemui pagi demi pagi (tanpa terkecuali pagi ini). Pertama kali memang kurasa aneh, janggal. Tapi seterusnya tidak, biasa-biasa saja. Mereka memang tukang jagal toh… tak ada sanggahan sama sekali! Jelas mereka itu tukang jagal!. Bengis, penghisap. Itu aku tahu, aku sadar. Dan… ya!... aku terbiasa (paling tidak terbiasa memanggil mereka dengan sebutan tukang jagal).
Mungkin kalian dengar berita itu. Ya!... ya!... itu!... berita pagi yang biasa kalian dengarkan sembari mencicipi suguhan sandwich gaya Amerika plus camilan kue kering yang semakin menggugah selera makan. Kalian bicarakan kemiskinan, kalian bicarakan nasib berjuta-juta rakyat miskin di dunia. Di meja makan!... di meja makan! Ah… betapa paradoks... munafik! Maaf bila sesekali waktu nalar ini lancang melejit genit mengatakan bahwa kalian tidak lain adalah mereka yang kusebut tukang jagal. Itu aku tahu, aku sadar… maaf.
entang buruh wanita yang tewas dianiaya majikannya di negeri seberang, kata si penyiar berita di televisi. Dijelaskan pula, Marini namanya. Bla…bla…bla…banyak lagi kisah tak jelas lainnya. Diungkap begitu lugas, tanpa beban.
Kukatakan, Itu wacana saja. Wacana!... biar tak meluas, biar tak terpotret apa yang sesungguhnya terjadi. Versiku, buruh wanita yang dibantai manusia tak bermoral. Memar-memar yang membiru… menghiasi tubuh si wanita. Belum lagi sisa-sisa kekejian setrika panas di kulit yang mempertontonkan kesaksiannya. Kuhitung… satu, dua… ada puluhan luka yang tersebar di sekujur tubuhnya. Aniaya?!... ah!... kalian bercanda. Kenapa tidak pembantaian yang kalian ucapkan?!. Rupanya kalian malu…malu untuk mengakui bahwa bangsa ini tak lagi dipandang memiliki harga diri, sehingga bisa seenaknya diinjak, ditinju, dijamah, disiksa sedemikian rupa!
Marini… dia ibuku. Tewas dia di tangan si tukang jagal. Pergi dia, hilang dia… begitu cepat. Tiada apalagi, sesuatu pun… tinggal kenangan. Lenyap… menyisakan sesak dan duka yang begitu mendalam buatku dan seluruh sanak saudaranya.
Kutatap wajahnya. Beku, dingin tanpa sepatah kata jua. Aih… tapi masih kulihat titik-titik cahaya yang berpendar begitu indah. Bersembunyi dia dibalik luka-luka… di wajahnya. Malu-malu…atau, ah!... mungkin memang nyaris sirna ditarik gelombang kesedihan yang pucat pasi. Remang-remang…cahaya itu tak seterang dulu. Terkikis dia… menipis, luntur dihempas badai siksaan yang menggoncangkan jiwa.
Kuberanikan untuk bertanya… lirih nadanya, “Kenapa bu…kemanakah kini kau pergi?!” Setelah lebih dari tiga tahun kau tinggalkan aku… menggedor kantong-kantong peruntungan di negeri sana, kini kau kembali pergi. Kutahu kau tak akan kembali lagi… tak akan pernah!. Tak sempat lagi kita berbicara, meski hanya sekadar barang beberapa menit saja. Tentang ayah, bu!... ya!... tentang ayah yang meninggalkan kita jauh-jauh hari. Kau ingat, bu?! Bukankah itu alasan yang membuatmu tegar mengambil keputusan untuk pergi ke negeri antah berantah itu?!. Aku ingat, bu!... selalu! Kau kecup keningku sembari mengingatkan, “Ayahmu pejuang… dia pergi di sela perjuangannya. Dia mati berjuang, bukan berharap!” Aku ingat, bu!... aku ingat! Kusimpan rapi memori wajahmu yang kusut didera kesedihan yang menghunjam begitu dalam kala itu. Kurasakan deru jantungmu yang berdetak cepat penuh kegelisahan… menanti ujung cerita nasib lelakimu yang tercinta. Kita berbagi lara, bu! Di rumah sakit… kutinggalkan sekolah yang membuatku semakin bodoh saja dari hari ke hari. Kita menanti kabar penuh harap dari dokter. Lelakimu terkapar parah… peluru menancap di lambungnya. Padahal dia hanya berteriak-teriak meminta haknya… hak seorang manusia buruh pabrik yang ingin hidup layak. Lelakimu cuma berteriak saja! tidak menjarah…tidak merampok! Dia menagih hak, kenapa harus peluru yang menjadi jawabannya?!
Kau ajak aku mengagumi bintang di langit. Di halaman rumah kita yang serba sederhana… kau raih tanganku, lantas kau dekap aku dengan mesra. Kulihat tetes air mata yang sengaja kau tumpahkan. Suaramu berat, parau. Tak berani kutatap parasmu, kutunggu lantunan not demi not nada-nada sumbang yang mencerminkan isi hatimu. Pikiranku melayang-layang kesana-kemari…menembus pekat malam yang hitam. Kau lemparkan emosi, aku diam sekadar mencoba untuk paham. Aku ingat, bu!... aku ingat! “Bintang yang paling terang itu adalah ayahmu. Dia melihat kita, dia menjaga kita. Dalam do’anya, dalam harapannya…dia terus ada,” itu kata terakhir yang meluncur dari mulutmu sebelum kita akhiri jamuan sendu malam itu.
Ibu, Marini-ku… kau begitu cantik. Dalam balutan kain putih seadanya ini pun kau masih terlihat mempesona. Kutitipkan amanat kepada para malaikat, jaga dia yang melulu ingat kepada Tuhannya. Kusampaikan salam kepada Tuhan, rahmati dia dengan kalung surga… buah dari segala manifestasi kesabarannya, padi yang seyogyanya dia panen dari setiap langkah, tetes keringat hingga darah yang dikorbankannya untuk orang-orang yang dicintainya.

Mungkin kalian dengar berita itu. Ya!... ya!... itu!... berita pagi yang biasa kalian dengarkan sembari mencicipi suguhan sandwich gaya Amerika plus camilan kue kering yang semakin menggugah selera makan. Kalian bicarakan kemiskinan, kalian bicarakan nasib berjuta-juta rakyat miskin di dunia. Di meja makan!... di meja makan! Ah… betapa paradoks... munafik! Maaf bila sesekali waktu nalar ini lancang melejit genit mengatakan bahwa kalian tidak lain adalah mereka yang kusebut tukang jagal. Itu aku tahu, aku sadar… maaf.
entang buruh wanita yang tewas dianiaya majikannya di negeri seberang, kata si penyiar berita di televisi. Dijelaskan pula, Marini namanya. Bla…bla…bla…banyak lagi kisah tak jelas lainnya. Diungkap begitu lugas, tanpa beban.
Kukatakan, Itu wacana saja. Wacana!... biar tak meluas, biar tak terpotret apa yang sesungguhnya terjadi. Versiku, buruh wanita yang dibantai manusia tak bermoral. Memar-memar yang membiru… menghiasi tubuh si wanita. Belum lagi sisa-sisa kekejian setrika panas di kulit yang mempertontonkan kesaksiannya. Kuhitung… satu, dua… ada puluhan luka yang tersebar di sekujur tubuhnya. Aniaya?!... ah!... kalian bercanda. Kenapa tidak pembantaian yang kalian ucapkan?!. Rupanya kalian malu…malu untuk mengakui bahwa bangsa ini tak lagi dipandang memiliki harga diri, sehingga bisa seenaknya diinjak, ditinju, dijamah, disiksa sedemikian rupa!
Marini… dia ibuku. Tewas dia di tangan si tukang jagal. Pergi dia, hilang dia… begitu cepat. Tiada apalagi, sesuatu pun… tinggal kenangan. Lenyap… menyisakan sesak dan duka yang begitu mendalam buatku dan seluruh sanak saudaranya.
Kutatap wajahnya. Beku, dingin tanpa sepatah kata jua. Aih… tapi masih kulihat titik-titik cahaya yang berpendar begitu indah. Bersembunyi dia dibalik luka-luka… di wajahnya. Malu-malu…atau, ah!... mungkin memang nyaris sirna ditarik gelombang kesedihan yang pucat pasi. Remang-remang…cahaya itu tak seterang dulu. Terkikis dia… menipis, luntur dihempas badai siksaan yang menggoncangkan jiwa.
Kuberanikan untuk bertanya… lirih nadanya, “Kenapa bu…kemanakah kini kau pergi?!” Setelah lebih dari tiga tahun kau tinggalkan aku… menggedor kantong-kantong peruntungan di negeri sana, kini kau kembali pergi. Kutahu kau tak akan kembali lagi… tak akan pernah!. Tak sempat lagi kita berbicara, meski hanya sekadar barang beberapa menit saja. Tentang ayah, bu!... ya!... tentang ayah yang meninggalkan kita jauh-jauh hari. Kau ingat, bu?! Bukankah itu alasan yang membuatmu tegar mengambil keputusan untuk pergi ke negeri antah berantah itu?!. Aku ingat, bu!... selalu! Kau kecup keningku sembari mengingatkan, “Ayahmu pejuang… dia pergi di sela perjuangannya. Dia mati berjuang, bukan berharap!” Aku ingat, bu!... aku ingat! Kusimpan rapi memori wajahmu yang kusut didera kesedihan yang menghunjam begitu dalam kala itu. Kurasakan deru jantungmu yang berdetak cepat penuh kegelisahan… menanti ujung cerita nasib lelakimu yang tercinta. Kita berbagi lara, bu! Di rumah sakit… kutinggalkan sekolah yang membuatku semakin bodoh saja dari hari ke hari. Kita menanti kabar penuh harap dari dokter. Lelakimu terkapar parah… peluru menancap di lambungnya. Padahal dia hanya berteriak-teriak meminta haknya… hak seorang manusia buruh pabrik yang ingin hidup layak. Lelakimu cuma berteriak saja! tidak menjarah…tidak merampok! Dia menagih hak, kenapa harus peluru yang menjadi jawabannya?!
Kau ajak aku mengagumi bintang di langit. Di halaman rumah kita yang serba sederhana… kau raih tanganku, lantas kau dekap aku dengan mesra. Kulihat tetes air mata yang sengaja kau tumpahkan. Suaramu berat, parau. Tak berani kutatap parasmu, kutunggu lantunan not demi not nada-nada sumbang yang mencerminkan isi hatimu. Pikiranku melayang-layang kesana-kemari…menembus pekat malam yang hitam. Kau lemparkan emosi, aku diam sekadar mencoba untuk paham. Aku ingat, bu!... aku ingat! “Bintang yang paling terang itu adalah ayahmu. Dia melihat kita, dia menjaga kita. Dalam do’anya, dalam harapannya…dia terus ada,” itu kata terakhir yang meluncur dari mulutmu sebelum kita akhiri jamuan sendu malam itu.
Ibu, Marini-ku… kau begitu cantik. Dalam balutan kain putih seadanya ini pun kau masih terlihat mempesona. Kutitipkan amanat kepada para malaikat, jaga dia yang melulu ingat kepada Tuhannya. Kusampaikan salam kepada Tuhan, rahmati dia dengan kalung surga… buah dari segala manifestasi kesabarannya, padi yang seyogyanya dia panen dari setiap langkah, tetes keringat hingga darah yang dikorbankannya untuk orang-orang yang dicintainya.
***
Ibu… aku ingin mengubah bintang. Kutahu kaulah yang menyapaku dari atas sana. Bersama ayah, saling bergandengan tangan… kau torehkan sejuta senyum yang kutahu hanya untukku saja, anakmu. Salam takzimku untukmu. Bersama bintang… itu cahayamu!
Ibu…aku ingin mengubah bintang. Kusucikan dirimu lewat gubahan bintang kejora yang memerah panas…simbol arti hidup yang kau bingkiskan untukku ; hidup tiada lain adalah perlawanan!
Lewat dari satu bulan sudah mesin pabrik terhenti. Para buruh mangkir bekerja. Kami ingin hidup layak setelah lebih dari pantas kami diperas. Tak percaya lagi kami pada tiap konsesi. “Tukang jagal adalah tetap tukang jagal,” jerit prinsip yang menderu-deru di lorong batinku. Aku… Murdani… sang penggubah bintang kejora. Ramai-ramai para buruh berteriak lantang…ramai-ramai ciptakan dunia baru. Tukang jagal harus dijagal!
Suara-suara Kehidupan
Senin, 14 September 2009 02:41 Hendri Teja

Kartini mengangkat lampu minyak itu setinggi ketiak. Dia hendak ke belakang, tetapi berhenti mendadak ketika cahaya lampu minyak itu, tanpa sengaja, menyinari kepala suaminya. Lambat-lambat dia bergerak, memastikan kalau matanya belum lamur.
“Ya, Tuhan. Betapa cepatnya lelaki itu menua,” desah Kartini sedih. Marto tengah tertidur nyenyak, mungkin keletihan, sambil mendukung puluhan uban di bagian atas telinganya. Lekuk yang dalam kini menggaris di sepasang mata suaminya itu.
Dengan menggotong sekuintal resah di dada, Kartini melilitkan handuk di lehernya untuk menangkal angin subuh yang acap mencuri kecup di kulitnya. Tangannya menjinjing ember plastik kecil berisi odol dan sabun ketengan. Dia menyusuri jajaran rumah tripleks yang berhimpitan -lorong sempit yang menjadi habitat nyaman bagi tikus, anjing buduk, nyamuk, kecoa dan kumpulan orang-orang terbuang.
Nyaris tak ada yang memiliki kakus di
Ketika Kartini tiba di sana, orang-orang sudah pada mengantri dengan mata mengantuk dan pipi bengkak. Sekali-sekali mereka meludah ketika angin subuh membawa bau solokan mampet atau aroma brankas tinja yang bocor mampir ke lubang hidung. Untuk yang dikejar waktu, sebenarnya, bisa saja menyeberangi rel kereta api dan jongkok di atas got. Tak akan ada seorang pun peduli, tapi bahkan di pemukiman kumuh ini pun kehormatan perempuan tetap di junjung tinggi.
“Tolong cepetan, Pak! Pagi ini saya ada wawancara kerja di Bekasi,” teriak Marni, yang berada di urutan hampir buncit, ketika Kusno mendapatkan gilirannya.
Muka Kusno memerah, seperti baru menenggak miras cap tikus. Lelaki itu memanggil Marni dengan lambaian tangan, memberikan gilirannya, dan kembali mengantri di urutan paling belakang.
***
Nguuuuuuuuuunggg… jejesjejes…
Suara itu lagi, tepat pukul sebelas siang. Mengaung panjang dan menghilang seperti jerit kerikil yang dijatuhkan ke dalam sumur kering. Seketika, untuk beberapa saat, dua tukang ojek dan seorang buruh pabrik tekstil, yang tengah menunggu shift-nya, kesusu menggenggam gelas kopinya masing-masing -kuatir kalau gempa-gempa kecil itu berbanding lurus dan kewajiban mengganti perabotan pecah belah yang jatuh ke lantai.
Mardiati hafal sekali lenguhan ular naga bersisik baja itu, sehafal dia akan kondisi warung kelontongnya yang sepi sebulan belakangan ini. Tepat di depannya kini sudah tegak sebuah mini market. Warung kelontongnya dihantam oleh harga murah dan ruangan sejuk ber-AC. Karena itulah dia nekad membuka warung kopi, peluang usaha itu ditangkapnya ketika melihat barisan tukang ojek yang jenuh menunggu para buruh pulang kerja. Dan karena kekurangan modal, maka Mardiati pun mengantangkan perkakas warungnya itu kepada kemurahan hati seorang tukang kredit.
“Kopi setengah, Mbak!” Seorang pelanggan membuyarkan lamunannya.
Ketika tengah menyeduh racikan gula dan kopi di dalam gelas, Mardiati melihat seorang perempuan dengan kedua tangan menjinjing dua kantung plastik besar mendekat. Sesekali, perempuan itu meletakkan bawaannya di tanah, untuk mengusap peluh di keningnya yang tembaga. Mardiati mendesah, dia juga sudah hafal sekali maksud kedatangan Kartini ke warungnya ini.
“Tidak, Kartini. Jangan hari ini,” ketus Mardiati dengan sikap pura-pura sibuk.
“Tolonglah, Mbak. Si kecil kepingin banget makan sarden kaleng. Nanti saya bayar, kalau cucian ini sudah dibayar Bu Susi,” rajuk Kartini mengiba.
“Ya, ampun! Apa kamu tidak bisa berhitung?“ serapah Mardiati, sesaat ingin mengebrak meja untuk melampiaskan amarahnya. “Hutang kamu itu sudah buanyak. Sepuluh kali upah cucian macam ini pun belum bisa bikin lunas.”
Muka Kartini semerah udang rebus. Dia kesusu menumpukan tangan kirinya pada papan penutup warung kelontong itu. Kepalanya mendadak pusing. Dia tahu kalau dia tengah keletihan, karena sejak dari jam lima pagi berkeliling kompleks real estate di seberang pabrik tekstil itu, berharap ada pembantu orang kaya yang kerepotan lantas memintanya untuk menseterikakan pakaian yang akan dikenakan majikan mereka ke kantor pagi tadi.
Meski begitu, Kartini sadar sepenuhnya. Kemiskinan tak mengizinkannya untuk menyerah pada gugatan biologis. Dia kemudian menguatkan sepasang kakinya, mendorong badan ringkihnya untuk tegak berdiri. Tapi mendadak ada sepasang tangan yang menariknya untuk duduk di bangku panjang. Sebentar kemudian, sudah ada segelas teh manis terhidang di atas meja.
Kartini tengadah. Mardiati memberikannya tatapan masam.
“Minumlah! Dan ingat, ini yang terakhir. Benar-benar yang terakhir!” dengus Mardiati sambil memasukkan dua sarden kaleng ukuran sedang ke dalam salah satu kantung plastik yang tadi dijinjing Kartini.
Suara itu lagi, tepat pukul sebelas siang. Mengaung panjang dan menghilang seperti jerit kerikil yang dijatuhkan ke dalam sumur kering. Seketika, untuk beberapa saat, dua tukang ojek dan seorang buruh pabrik tekstil, yang tengah menunggu shift-nya, kesusu menggenggam gelas kopinya masing-masing -kuatir kalau gempa-gempa kecil itu berbanding lurus dan kewajiban mengganti perabotan pecah belah yang jatuh ke lantai.
Mardiati hafal sekali lenguhan ular naga bersisik baja itu, sehafal dia akan kondisi warung kelontongnya yang sepi sebulan belakangan ini. Tepat di depannya kini sudah tegak sebuah mini market. Warung kelontongnya dihantam oleh harga murah dan ruangan sejuk ber-AC. Karena itulah dia nekad membuka warung kopi, peluang usaha itu ditangkapnya ketika melihat barisan tukang ojek yang jenuh menunggu para buruh pulang kerja. Dan karena kekurangan modal, maka Mardiati pun mengantangkan perkakas warungnya itu kepada kemurahan hati seorang tukang kredit.
“Kopi setengah, Mbak!” Seorang pelanggan membuyarkan lamunannya.
Ketika tengah menyeduh racikan gula dan kopi di dalam gelas, Mardiati melihat seorang perempuan dengan kedua tangan menjinjing dua kantung plastik besar mendekat. Sesekali, perempuan itu meletakkan bawaannya di tanah, untuk mengusap peluh di keningnya yang tembaga. Mardiati mendesah, dia juga sudah hafal sekali maksud kedatangan Kartini ke warungnya ini.
“Tidak, Kartini. Jangan hari ini,” ketus Mardiati dengan sikap pura-pura sibuk.
“Tolonglah, Mbak. Si kecil kepingin banget makan sarden kaleng. Nanti saya bayar, kalau cucian ini sudah dibayar Bu Susi,” rajuk Kartini mengiba.
“Ya, ampun! Apa kamu tidak bisa berhitung?“ serapah Mardiati, sesaat ingin mengebrak meja untuk melampiaskan amarahnya. “Hutang kamu itu sudah buanyak. Sepuluh kali upah cucian macam ini pun belum bisa bikin lunas.”
Muka Kartini semerah udang rebus. Dia kesusu menumpukan tangan kirinya pada papan penutup warung kelontong itu. Kepalanya mendadak pusing. Dia tahu kalau dia tengah keletihan, karena sejak dari jam lima pagi berkeliling kompleks real estate di seberang pabrik tekstil itu, berharap ada pembantu orang kaya yang kerepotan lantas memintanya untuk menseterikakan pakaian yang akan dikenakan majikan mereka ke kantor pagi tadi.
Meski begitu, Kartini sadar sepenuhnya. Kemiskinan tak mengizinkannya untuk menyerah pada gugatan biologis. Dia kemudian menguatkan sepasang kakinya, mendorong badan ringkihnya untuk tegak berdiri. Tapi mendadak ada sepasang tangan yang menariknya untuk duduk di bangku panjang. Sebentar kemudian, sudah ada segelas teh manis terhidang di atas meja.
Kartini tengadah. Mardiati memberikannya tatapan masam.
“Minumlah! Dan ingat, ini yang terakhir. Benar-benar yang terakhir!” dengus Mardiati sambil memasukkan dua sarden kaleng ukuran sedang ke dalam salah satu kantung plastik yang tadi dijinjing Kartini.
***
Ngoooooooooonggg… Ngoooooooooonggg…
Seperti lolongan anjing jalanan yang kabarkan kalau malam sudah di pertengahan, seperti itu pula jerit peluit pergantian shift kerja pabrik tekstil itu. Lolongan yang panjang, tajam dan memekakkan telinga. Spontan tiga tukang ojek itu ligat bergerak. Dua orang bergegas menutup gelasnya dengan piring tadah, sementara yang seorang, yang cangkirnya sudah kosong, hanya sempat meneriakkan kalimat yang membuat Mardiati mengurut dada.
“Hutang dulu, Mbak!”
Dalam hitungan detik, lalu lintas di depan gerbang pabrik itu langsung kacau balau. Para buruh seperti rombongan yang menerjunkan diri ke sungai untuk melarikan diri dari terkaman singa, tetapi mendapatkan diri dikepung gerombolan buaya. Badan bis yang ngetem sembarangan, angkuh mencegat perjalanan mereka. Selanjutnya, puluhan tukang ojek berlomba-lomba mengejar mereka, mengepung dari depan-belakang, kiri dan kanan.
“Minggir!” teriak seorang satpam, sambil mengacungkan pentungannya ke arah sebuah mikrolet yang ngetem tepat di depan gerbang. Supir itu tersinggung, kemudian turun dari mikrolet dan menghujani satpam itu dengan sumpah serapah. Cekcok mulut pun terjadi. Dan di tengah kekacauan itu, emosi pun acap menabrak ke luar kotak.
“Mampus lu, satpam brengsek! Makan tuh sok jagoan!” ejek si supir setelah upper cut-nya telak menghantam rahang lawannya.
Mardiati bergegas keluar, dia wajib mengetahui detail pertikaian tersebut. Gosip renyah adalah penikmat rasa minum kopi, salah satu layanan istimewa di warungnya. Tetapi baru tiga tapak dia melangkah, mendadak sebilah tangan yang kukuh mencengkramnya.
“Jangan usil! Sudah, urus saja urusanmu sendiri,“ bentak Markonah, perempuan gemuk dengan sepasang pipi penuh liang bekas cacar. Tangan kanannya kemudian langsung tenggadah, “mana uang sewa warungmu?”
"Tak bisakah ditunda, Bu? Warung saya sedang sepi-sepinya," jawab Mardiati dengan mimik mengiba, “saya janji awal bulan nanti pasti saya lunasi semuanya.”
Markonah mendengus jengkel, "itu yang kau katakan tepat enam bulan yang lalu. Jangan suka membohongi orang tua. Nanti kualat, baru tahu rasa!”
Seperti lolongan anjing jalanan yang kabarkan kalau malam sudah di pertengahan, seperti itu pula jerit peluit pergantian shift kerja pabrik tekstil itu. Lolongan yang panjang, tajam dan memekakkan telinga. Spontan tiga tukang ojek itu ligat bergerak. Dua orang bergegas menutup gelasnya dengan piring tadah, sementara yang seorang, yang cangkirnya sudah kosong, hanya sempat meneriakkan kalimat yang membuat Mardiati mengurut dada.
“Hutang dulu, Mbak!”
Dalam hitungan detik, lalu lintas di depan gerbang pabrik itu langsung kacau balau. Para buruh seperti rombongan yang menerjunkan diri ke sungai untuk melarikan diri dari terkaman singa, tetapi mendapatkan diri dikepung gerombolan buaya. Badan bis yang ngetem sembarangan, angkuh mencegat perjalanan mereka. Selanjutnya, puluhan tukang ojek berlomba-lomba mengejar mereka, mengepung dari depan-belakang, kiri dan kanan.
“Minggir!” teriak seorang satpam, sambil mengacungkan pentungannya ke arah sebuah mikrolet yang ngetem tepat di depan gerbang. Supir itu tersinggung, kemudian turun dari mikrolet dan menghujani satpam itu dengan sumpah serapah. Cekcok mulut pun terjadi. Dan di tengah kekacauan itu, emosi pun acap menabrak ke luar kotak.
“Mampus lu, satpam brengsek! Makan tuh sok jagoan!” ejek si supir setelah upper cut-nya telak menghantam rahang lawannya.
Mardiati bergegas keluar, dia wajib mengetahui detail pertikaian tersebut. Gosip renyah adalah penikmat rasa minum kopi, salah satu layanan istimewa di warungnya. Tetapi baru tiga tapak dia melangkah, mendadak sebilah tangan yang kukuh mencengkramnya.
“Jangan usil! Sudah, urus saja urusanmu sendiri,“ bentak Markonah, perempuan gemuk dengan sepasang pipi penuh liang bekas cacar. Tangan kanannya kemudian langsung tenggadah, “mana uang sewa warungmu?”
"Tak bisakah ditunda, Bu? Warung saya sedang sepi-sepinya," jawab Mardiati dengan mimik mengiba, “saya janji awal bulan nanti pasti saya lunasi semuanya.”
Markonah mendengus jengkel, "itu yang kau katakan tepat enam bulan yang lalu. Jangan suka membohongi orang tua. Nanti kualat, baru tahu rasa!”
“Tapi, Bu…”
“Ini hari aku enggak mau denger kata ‘tapi’. Ngerrrrrrrrti?”
Mardiati pucat pasi. Dia sadar kalau keinginan Markonah sudah tak mungkin ditawar-tawar lagi. Dengan mata sembab, seperti kucing kelaparan, dia memutari meja dan membuka laci kasnya.
“Tolong Dji Sam Soe setengah, Bu!”
Kemunculan mendadak seorang pemuda gondrong dengan celana jeans, sepatu kets, dan tas sandang di bahunya, membuat Mardiati mendadak histeris. Pemuda itu kebingungan, tetapi karena tangis Mardiati tidak memperlihatkan tanda-tanda akan segera berakhir, dia memutuskan untuk mencari warung yang lain.
“Sudah berapa tahun?” bisik Markonah dengan nafas resah, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Sudah empat kali ganti presiden, Bu. Tapi nasib puteraku itu belum juga jelas…,” jerit Mardiati sesungukan.
“Putera kita,” Markonah berbisik sendu, memotong. “Elang, anakku, juga kemungkinan besar jadi korban penculikan itu,” ucapan Markonah berhenti. Nafasnya mendadak sesak, dan matanya pun mulai berkaca, “ Akh -aku masih ingat sekali sore itu. Dia mencium tanganku. Katanya mau pergi berjuang membela negara. Sejak sore itu, dia tidak pernah kembali.”
“Salah – salah! Mereka bertiga adik saya juga. Mbak dan Ibu jangan lupakan Abduh!”
Mardiati dan Markonah, Ibu para putera yang hilang, menoleh serempak ke arah sumber suara. Kartini tampak tegak di sana, lengkap dengan daster lusuh, wajah pucat dan bacin keringat -penampilan yang benar-benar khas perempuan miskin. Tapi mata itu, di dalam sepasang mata itu, keduanya serasa dapat melihat ledakan-ledakan granat.
Markonah menatap perempuan itu, dengan matanya, dengan hatinya, dengan seluruh perasaannya. Dia kemudian melambaikan tangannya, mengundang Kartini untuk menyempurnakan segitiga kesedihan itu. Kemudian ketiga perempuan itu pun saling berdekapan, terisak bersama atas nama kegetiran hidup.
Mendadak kepala Mardiati terangkat. Matanya, meski sembab, kini kembali meledak-ledak.
“Sebentar, Mbakyu-Ibu. Rasanya kok tak enak menyerah begitu saja pada kezaliman ini.”
“Kau benar, Tini. Kau benar,” jawab Mardiati, masih kesulitan meredam isak tangisnya.
Markonah membisu. Perempuan gemuk itu kemudian menyeka air matanya dengan saputangan dekil. Dia menarik nafas panjang, sebelum memutuskan untuk berlari ke arah jalan raya.
***
Ngeeeeeeeeeeenggg… uhhhuk…uhhhuk.
Mesin bajaj itu batuk-batuk, menyadarkan ketiga perempuan itu kalau mereka pasti terlambat. Ancaman dari serudukan bis-bis Patas AC -para sopir gila yang seakan memiliki kepuasan sendiri dengan menteror bajaj, atau becak kalau ada- serupa banteng liar di tengah jerit klakson dan bising mesin, membuat mereka bersyukur kalau masih bisa mendengar pidato penutupan.
Ketika mereka tiba di Taman Suropati, arak-arakan protes massa sudah bergerak menuju Bundaran HI. Bajaj itu berhasil mencegat rombongan di Tugu Tani. Ketiga perempuan itu langsung bergabung, meski sempat kebingungan karena ini adalah yang pertama. Mereka menumpahkan kesedihan, kemarahan, harapan, dan rasa pasrah melalui slogan-slogan yang diteriakkan dengan jerit histeris.
“Kembalikan putera kami! Kembalikan adik kami! Kembalikan saudara kami!”
Arak-arakan sampai ke tempat tujuan. Seorang perempuan muda dengan ikat kepala merah darah beringsut ke tepi kolam, sehingga dapat lebih jelas dilihat massa. Dia berteriak, melalui megaphone, memanggil pengarah unjuk rasa -Suminten, SH.
Selusin perempuan kemudian membelah kerumunan, di tengah-tengahnya Suminten, SH bergerak lambat-lambat menuju panggung. Kartini tercenung, tidak menyangka kalau malaikatnya itu adalah perempuan berpostur pendek gemuk dengan balutan rok dan blazer serta rambut disanggul mewah -khas penampilan ibu-ibu PKK yang acap dia lihat muncul di teve tetangga.
Sambil melangkah, Suminten, SH tersenyum lebar dan melambaikan tangannya kepada orang-orang. Pergelangan tangan perempuan itu pun tersingkap. Mardiati terkesima, yakin sekali kalau tangan itu tidak sekedar dipenuhi perhiasan imitasi, melainkan rangkaian gelang emas dan dua cincin berlian, yang memendarkan sinar matahari ke segala penjuru.
Di samping Mardiati dan Kartini, ada Markonah yang tengah giat-giatnya meninju langit. Anehnya tangan Markonah itu tidak terkepal, malahan seakan tidak ada kebencian di sana -yang ada hanyalah rasa pasrah dan sejumput tanya :“Benarkah perempuan di atas panggung itu juga kehilangan seorang putera?”
Jejak Kotor
Minggu, 21 Juni 2009 20:05 Nanang Budiono

Ia hembuskan nafas lega dan terus menyusuri jalan keluar menuju jalan raya.
Ia hentikan langkahnya tepat dipinggir jalan raya. Berbekal
Matahari belum tinggi ketika ia sampai di depan gerbang rumah megah. Ia berdiri, mengamati sekelilingnya, suasana rumah sepi. Ia beranikan diri untuk memencet bel yang ada di depan gerbang. Seorang wanita muda keluar.
“Cari siapa pak?” tanya wanita muda itu, yang diketahui adalah seorang pembantu. Ia diam sesaat rasa heran menggelitik hatinya.
“Ibu Ida ada?” jawabnya kembali bertanya.
“Ibu Ida? Bapak salah alamat,” lanjut pembantu itu.
“Tidak mungkin. Ini rumah saya, dan Ida adalah istri saya!” Dia belum percaya.
“Ini rumahnya ngkoh Liem, orang
Mendadak wajahnya pucat pasi, kringat yang membasahi wajahnya semakin deras. Matanya memerah, hatinya bergelora, menahan marah atau entah apa. Mungkin ia rindu pada istri dan anak-anaknya, atau mungkin ia cemburu kalau istrinya telah menikah lagi. Perasaannya bergemuruh, bergetar, bercambur aduk antara rindu dan cemburu. Tangannya bergetar memegang terali pintu gerbang. Pembantu itu hanya terdiam memandangi pria aneh yang ada didepannya, pembantu itu buru-buru masuk ke dalam rumah, ia ditinggalkan begitu saja.
Tiba-tiba saja kunang-kunang ramai dihadapannya. Ia terduduk sambil merintih perih terasa didadanya. ke mana ia harus mencari keluarganya yang telah pergi. Ia coba mengingat sesuatu. “Orang tuanya,” ucapnya semangat.
Ia lanjutkan langkahnya menyusuri trotoar yang panasnya semakin menyengat. Peluh semakin deras, berkali-kali ia hapus peluh yang mengalir dengan lengan jaket lusuh yang dikenakannya.
“Ya ampun panasnya…” gumamnya, ia tak sadar ini baru di dunia belum di neraka. Ia terus paksakan diri untuk menyusuri jalananan kota, suara knalpot dari mobil angkot membisingkan telinga, belum lagi suara klakson ketika kemacetan terjadi sepanjang jalan pasar yang kumuh, aroma sampah dan ikan busuk pengapkan udara. Semua menutup hidung menghindari bau busuk yang menyengat.
Tepat tengah hari, ia telah sampai di sebuah gang. Di ujung gang itu adalah rumah mertuanya. Ia melangkah meyusuri gang dengan langkah cepat. Perasaannya tak sabar ingin bertemu dengan keluarganya. Hampir saja langkahnya menabrak gerobak tukang somay yang sedang menjajakan dagangannya, ia tak peduli ketika tukang somay memandangnya dengan perasaan heran. Langkahnya terhenti tepat di depan rumah yang sederhana dengan pintu gerbang besi yang sudah karatan.
Ia pandangi sekeliling rumah, warna catnya masih seperti dulu tidak ada perubahan, hijau adalah warna kesukaan istrinya. Taman bunga dan kolam kecil di teras juga masih seperti dulu di sampingnya ada dua buah kursi dan satu meja bulat, posisinya juga masih seperti yang dulu. Masih seperti ketika pertama kali ia datang untuk berkunjung pada waktu malam minggu dan duduk berdua di kursi itu sambil bercanda dengan pacarnya, Ida. Bayangan itu membuat darahnya berdesir dan kelopak matanya seakan berat menahan air yang hampir tumpah. Masa yang tak dapat dilupakan dan diulanginya lagi. Masa paling romantis dan menyenangkan namun juga menyakitkan.
Lama ia berdiri di depan gerbang itu. Air matanyapun keluar. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara klakson motor yang memintanya untuk minggir karena motor akan masuk ke halaman rumah.
Karena tak ada reaksi, pemuda itu turun dari motor. Lalu mendekati dirinya yang masih berdiri di depan pintu gerbang.
“Maaf, Bapak siapa ya, dan ada keperluan apa?” tanya pemuda itu sopan.
Ia tidak menjawab pertanyaan pemuda itu, namun langsung saja ia menyebutkan nama pemuda itu.
“Erwin ?“ ucapnya. Sambil mengulurkan tangannya. Pemuda itu heran sambil mengulurkan tangan juga, mereka bersalaman. Pemuda itu menatap lekat wajah yang kusam itu, menerka siapa sebenarnya laki-laki lusuh ini. Dan suara itu dikenalnya.
“Oh..! Bajingan kamu ! Ngapain datang ke sini. Pergi…! Mba Ida sudah pergi. Dia sudah bahagia dengan suaminya. Pergi kamu…, jangan ganggu keluarga kami lagi. Awas kamu ya ! Kalau sampai ganggu Mba Ida lagi !” ucap pemuda itu geram sambil mencengkram kerah jaket dan mengarahkan kepalan tangan tepat di wajahnya yang tegang. Namun tak sempat menyentuhnya.
Keributan di luar rumah itu, terdengar oleh penghuni rumah. Seisi rumah keluar. Bapak mertuanya, ibu mertuanya, kakak iparnya dan tiga keponakannya. Pemuda itu adalah adik iparnya. Mereka berbaris membentuk pagar betis. Seperti pesakitan yang berdiri di depan para hakim. Ia tertunduk.
“Moral bejat! Mau apa kau kemari!” bentak Bapak mertuanya. Sambil menudingkan telunjuknya.
“Dasar laki-laki nggak punya otak!” Sambut kakak iparnya.
“Kau hancurkan anakku, kau siksa dia, kau khianati dan kau sia-siakan cucuku. Dasar laki-laki bajingan kau ini. Sudah pergi, kau bukan lagi menantu kami. Dan kami tak sudi mempunyai menantu penjahat seperti kau. Dasar penipu ! pemeras ! pergi…!” maki Ibu mertuanya. Ia tetap berdiri tak sepatah katapun ia sempat keluarkan untuk sekedar membela diri. Semuanya seakan menjadi gelap.
Keluarga mertuanya, merupakan keluarga yang disegani dan menjadi panutan masyarakat di lingkunan itu, kebaikan dan kejujuran mereka tidak diragukan lagi. Bukan hanya di lingkungan itu saja, namun di lingkungan lain juga. Karena mertuanya adalah seorang camat yang bijaksana dan kehidupannya sederhana. Pengabdian yang tulus pada masyarakat telah dibuktikannya. Kemudahan dalam mengurus surat-surat dapat dirasakan warganya.
Kepercayaan masyarakat begitu penuh pada mertuanya. Pada saat itu ia sebagai menantunya yang aktif dalam organisasi politik memanfaatkan peluang itu untuk mendapatkan suara dalam pencalonan menjadi anggota dewan legislative. Pemanfaatan itu berhasil dan ia mendapat suara terbayak dari partainya. Masyarakat memilihnya karena memandang mertuanya. Bukan memandangnya. Mertuanyapun bangga karena menantunya dapat menjadi wakil untuk rakyatnya.
Namun, kesempatan tidak dapat ia jalankan dengan baik. Ia tak lulus ujian moral. Mukin ketika SD ia tidak lulus juga pelajaran PMP (Penidikan Moral Pancasila). Dan masyarakat merasa ditipu dan dikhianati. Mereka mengumpat habis mertuanya, cacian rakyat sangat menyakitkan hati mertuanya hingga mertuanya harus dilarikan kerumah sakit terkena serangan jantung. Dan aib itu masih membekas di hati mertuanya.
Sebelum dirinya di penjara, merekapun sudah marah. Muak melihat kesombongannya. Kekayaan tidak membuat bahagia istri dan anak-anaknya justru menjadi tangis dan malu seluruh keluarganya. Orang tua kandungnya telah membuangnya lebih dulu sebelum ia masuk penjara. Sebagai mantan pejuang, orang tuanya berprinsip keras lebih baik membuang anaknya dari pada menjual negaranya.
Mulai kasus vidio mesum dan perselingkuhan hingga kasus korupsi, sangat memukul perasaan dan menjadi aib bagi keluarga yang selama ini menjadi panutan rakyat dan rasa kecewa serta sesal sangat dirasakan oleh masyarakat yang telah memilihnya.
Ia terdiam. Teringat masa itu, sebuah masa yang sangat menakutkan. Ia tak tahan dengan gemuruh didadanya lalu berlari meninggalkan barisan hakim yang serempak meludahinya. Ingin sekali ia menjerit. Ia tinggalkan gang kecil itu dengan rasa yang malu dan berdosa.
Seakan tanpa arah ia melangkah, berkali-kali ia medesah. Ia berharap masih ada orang yang dapat membantunya. Namun siapa ?. Ia berhenti tepat di bawah pohon asem yang rindang di tepi jalan. Matanya memandang kosong ke jalan raya, lalu lalintas kendaraan tak dihiraukan. Pikiriannya melayang, kesebuah masa dimana ia pernah hidup seakan disurga.
“Inikah hidupku?” gumamnya dalam hati.
Kelam, gelap dan hampa seakan dunia. Ia mulai tersenyum sendiri saat bayangan indah masa lalu datang, lalu menangis ketika tersadar sekarang ia terbuang. Mobil mewah yang selalu dikendarai berubah menjadi tapak kaki yang kini melepuh tersengat oleh panasnya aspal tengah hari.
Sekarang ia seumpama seonggok sampah yang tak ada artinya. Kerdilnya moral telah hancurkan masa depan yang seharusnya indah bersama anak dan istrinya. Kehilafan yang seakan tak berampun.
Sebatang rumput terselip dikedua bibir yang kering. Matanya masih basah. Geram ia rasakan menyesali diri yang semakin jauh terbuang. Tak ada lagi yang percaya padanya, lalu kemana teman-teman sejawat yang dulu selalu menyanjungnya. Mereka menghilang ketika sadar kalau ia bukan hartawan dan pejabat lagi.
Semua rakyat menanti untuk memaki. Anak, istri pergi dan kerabat menyumpahi serta mengutuknya. Lalu kemana wanita simpanannya?. Wanita yang dulu sangat dimanjakannya dengan harta curian milik negera. Wanitanya telah berlalu bersama cukong yang menjamin kehidupannya.
Dunia mulai muak dengannya. Ia harapkan udara segar diluar penjara, justru menjadi panas dan gelisah membara seakan di atas tungku neraka. Hidupnya terapung bagai kapas yang tertiup angin senja. Tak dapat hinggap dan menempel pada setiap pucuk ilalang. Walau hanya sebentar.
“Laraku terlalu penuh dalam hidup. Sekarang hanya penantian sebuah petaka yang aku tunggu. Disetiap detik, jantungku bergetar dan aku selalu berpaling dari jalanNya. Ini sebuah dosa.” bisik hatinya.
Berlahan menetes butiran bening dari matanya. Kekacauan yang ia buat sendiri dan kehancuran teramat sangat dalam hati. Ia sandarkan tubuh lelah itu pada batang pohon asem yang besar. Ia melihat sekelompok burung kecil bercanda diantasnya. Ia ingat anak-anaknya.
Kehidupannya semakin jauh berubah. Bukan kemajuan yang ia dapatkan dari bertambahnya usia. Justru kemunduran yang drastis ia alami.
Sebulan sudah ia terapung dijalanan. Dia merasa telah menjadi sampah sungguhan, sampah masyarakat dan glandangan hampir setiap hari selalu dikejar-kejar oleh Trantip. Kemanapun ia pergi bayangan hitam selalu dibelakangnya, menindih saat ia tidur, menampar saat ia sendiri. Ia hanya bisa meratap. Namun ratapannya hanya menjadi tempat orang-orang membuang ludah. Kemana wibawanya selama ini. sepuluh tahun lalu semua orang menunduk hormat, sekarang semua orang meludahinya.
Wajar jika Allah menghukumnya sedemikan hebatnya. ketika ia menjadi pejabat, ratusan ribu rakyat menjadi miskin karenanya. Ribuan orang harus menjadi penjahat karena kehilangan pekerjaan dan anak-anak harus mati karena penyakit busung lapar.
Bulan berganti dan tahun menyambut. Sekarang ia duduk di bawah jembatan penyebrangan, dengan baju lusuh dan rambut gimbal merah. Kulitnya hitam kecoklatan. Sahabatnya adalah debu jalanan. Ia tertawa, menangis sendiri. Moralnya telah hilang sejak lama. Setelah keluar dari penjara, mentalnya pun ikut runtuh. Jiwanya sakit. Tak ada yang memperdulikannya, seperti dirinya yang dulu tak pernah peduli dengan nasib ribuan manusia.
Ternyata ia termakan sumpah serapah rakyat dan doa mereka mujarap. Sebuah kutukan yang makbul, terijabah oleh Tuhan. Dan itulah doa orang-orang yang teraniaya. Selalu didengar dan dikabulkan Tuhan.
Tengah malam, ia tak tahan dengan berat bayangan hitam yang menindihnya, dadanya sesak ia menjerit histeris, tak ada yang peduli dan tak ada yang mendengar. Hanya suara lintas mobil yang melaju cepat. Ia berlari menghindari bayangan hitam yang selalu mengganggunya, ia terus berteriak “Ampun!” namun bayangan itu tetap hadir, mencengkram rambutnya yang gimbal, meremas wajahnya yang lusuh lalu melemparkannya ke tengah jalan raya dan disambut oleh tronton yang melaju cepat. Dan tubuhnya tak lagi utuh.
Fajar menyingsing, matahari muncul namun sinarnya masih terhalang oleh gedung-gedung tinggi yang berbaris disepanjang jalan kota. Jalan raya penuh sesak oleh ratusan orang yang mengelilingi tubuh yang tak lagi utuh itu, mereka berebut ingin melihat bagaimana matinya seorang koruptor. Penjahat rakyat. Lalu mereka meludah jijik dan membiarkan tubuh yang terpisah-pisah itu teronggok bagai sampah dan mereka berharap nanti ada segerombolan anjing liar yang kelaparan, lalu memakan habis dagingnya dan menyimpan tulang-tulangnya dan di jadikan symbol peringatan bagi penjahat rakyat lainya untuk berhenti menjadi panjahat dan tidak mengikuti jejaknya. Gambaran bagi generasi selanjutnya untuk takut jika menjadi seorang koruptor karena akan sama nasibnya seperti dia sengsara dunia dan akherat.
Senyum untuk Raya
Minggu, 14 Juni 2009 20:28 Sisilia Novita Susanti

Beberapa orang menyapaku atau hanya sekedar bercanda menitipkan ruang PKM. Tak berapa lama, ruangan itu sepi, nyenyat. Karena yang non muslim di kampus negeri seperti kampusku memang tak banyak. Dan lebih sedikit lagi yang ikut organisasi kampus.
Sejurus kulihat sosok tegak dengan tubuh kurus tapi berdada lebar menghampiriku. Wajahnya tertutup senja yang beranjak malam. Tanpa ba-bi-bu, sosok itu mengambil tempat di sampingku di teras PKM.
”Gak sholat Ray?” tanyaku.
”Mens,” jawabnya seenak perut.
”Dasar!” runtukku, dan kami diam.
Tapi begitulah Raya. Anugrah Raya Samudra, namanya. Anak seorang pelaut dan seorang ibu rumah tangga biasa. Kakak dari seorang gadis kecil yang baru beranjak remaja. Pria yang tumbuh dengan caranya sendiri. Pria yang tak pernah peduli apa kata orang. Pria yang tak peduli dengan aturan apapun kecuali aturannya sendiri termasuk dalam hal beribadah. Dari yang aku tahu, Raya hanya memasuki pintu masjid saat dia bahagia. Lain tidak.
Pria di sampingku itu mengeluarkan sebatang Amild dari saku kemejanya. Suara gesekan zippo membuat aku sedikit beringsut menjauh. Dan, pria itu tersenyum. Senyum yang jarang terlihat.
”Vi.........” panggilnya pelan.
”Hmmm?” sahutku.
”Kamu jarang tersenyum akhir-akhir ini,” katanya, ”Kenapa?”
”Lagi sedih,” jawabku sekenaku.
“Kenapa?” tuntutnya lagi.
“Orang yang aku suka gak peduli ma aku. Jadi ngapain aku tersenyum saat aku lagi bete, dia malah deket ma cewe lain,” jawabku acuh.
“Laki-laki bodoh,” katanya, “Dia gak tau apa yang dia lewatkan.”
“Hmm…”
“Siapa sih laki-laki itu, Vi?” tanyanya penasaran.
”
”Aku kenal?”
”Kalau kenal, mau apa?”
“Akan kubuat dia menyadari betapa beruntungnya memiliki kamu dan mendapatkan hati kamu.”
“Gitu ya?”
“Iya!” tegasnya, “Sementara itu, tetaplah tersenyum, ya Vi?” pintanya.
“Untuk apa? Untuk siapa?”
“Setidaknya untukku, senyummu bikin aku merasa ringan.” Lelaki itu menatapku. Lekat. Tak seperti biasanya.
“Ray, sadarkan dulu diri kamu sendiri betapa beruntungnya mendapatkan aku, setelah itu aku akan terus tersenyum untuk kamu, bahkan tanpa kamu meminta,” kataku.
“Kamu pacarku sejak detik ini…!” katanya tegas. Ketegasan yang khas. Ketegasan yang membuat aku tersenyum kembali. tersenyum untuknya. Hanya untuknya.
Mencari Pasangan Yang Sempurna
Hamba mencari pasangan sempurna. Lelah hati dan jiwa.
Hamba mencari kemana-mana, alhasil hamba tak sanggup temukan belahan jiwa itu. Setiap hari hamba berdoa, namun belum juga terkabul. Mungkin inilah perjuangan.
Lama-lama hamba mulai menikmati kehidupan ini.
Walaupun jemu pernah hinggap dalam kamus kehidupan hamba, meraung-raung dalam sunyi.
Walaupun jemu pernah hinggap dalam kamus kehidupan hamba, meraung-raung dalam sunyi.
Sungguh, di dunia yang maya ini, hamba mencoba menghindar dari gundukan dosa, namun laron-laron dosa itu sesekali berduyun mendekati hamba. Sekuat ruh hamba berlari-berlari menuju cahaya, dan konon, salah satu kendaraan untuk mendekatkan diri dengan cahaya itu adalah mendapatkan seorang pasangan. Ya, hamba mencari pasangan sempurna, agar hamba bisa menyempurnakan niat hamba, bercengkrama dengan cahaya sejati.
Hamba bergelut dengan hari-hari, mencari secercah cahaya untuk bisa hamba huni dari kegelapan yang semakin gandrung menyelimuti hati hamba lagi. Hamba akui di setiap arah jam yang bergulir ada terpendam berjuta rahasia yang tak bisa hamba singkap keberadaannya, tak mampu hamba kuliti satu persatu apa gerangan yang diinginkan Allah. Tadinya hamba berpikir bahwa hamba telah mampu meredam satu niatan hamba itu, mengubur riak-riak kehidupan yang hamba bangun dengan pondasi rapuh. Rupanya detak suara jarum jam semakin besar menghentak-hentak dan memekakan telinga hamba, lalu hamba kembali terpuruk, pikiran hamba terhuyung-huyung melangkahkan kaki tak tentu arah.
Suatu hari, hamba bertemu dengan mawar. Di taman itu ia hidup sendiri. Warnanya yang merah merekah membuat mata terkagum-kagum. Ingin rasanya hamba mempersuntingnya, memetik segala hasrat yang mulai basah kuyup dengan segala keinginan.
Sang mawar tak sadar bahwa ada yang mengamatinya. Ya Tuhan harum sekali. Ya, ketika pagi merambat, hamba merasakan keharuman yang luar biasa. Merambat ke seluruh ubun-ubun, keharuman yang menakjubkan. Hamba memberanikan diri untuk menyapanya.
“Selamat pagi, Mawar.” Mawar tersenyum, senyum yang menyejukkan.
“Selamat pagi. Ada apakah gerangan, sehingga pagi-pagi begini anda bertamu ke taman yang sepi ini?”
“Selamat pagi. Ada apakah gerangan, sehingga pagi-pagi begini anda bertamu ke taman yang sepi ini?”
“Hamba berniat mencari pasangan yang sempurna. Setiap hari tanpa sepengetahuan anda, hamba mengamati anda, lalu tumbuhlah sejumput rasa tertentu yang tak bisa terdefinisi. Anda telah menyampaikan keharuman itu lewat wewangian yang disampaikan angin. Hamba pikir andalah yang hamba cari, belahan jiwa yang sekian lama memikat hamba untuk hidup dalam kembara.”
“Betulkah aku yang anda cari? Tak malukah anda menikah dengan bunga sederhana sepertiku? Apa yang membuat anda terkagum? Tak banyak yang bisa aku berikan untuk anda.”
“Mawar, sudah lama hamba mencari pasangan yang sempurna.
Mungkin inilah harapan terakhir. Melihat warnamu yang memerah, hamba terkesima. Jika anda mengizinkan, hamba ingin melamar anda. Mari kita arungi bahtera hidup ini.”
Mungkin inilah harapan terakhir. Melihat warnamu yang memerah, hamba terkesima. Jika anda mengizinkan, hamba ingin melamar anda. Mari kita arungi bahtera hidup ini.”
“Kalau betul itu yang anda inginkan, baiklah. Tunggu barang satu minggu, setelah itu jenguklah aku kembali.”
“Terimakasih mawar. Ternyata hamba tak salah pilih.
Seminggu lagi hamba akan kesini.”
Seminggu lagi hamba akan kesini.”
Hamba lantas meninggalkannya sendiri di taman itu.
Hamba pergi diiringi senyum yang dramatis. Hati hamba seketika terbang ke langit. Sebentar lagi penantian hamba berakhir, hamba akan mendapatkan pasangan yang sempurna.
Hamba pergi diiringi senyum yang dramatis. Hati hamba seketika terbang ke langit. Sebentar lagi penantian hamba berakhir, hamba akan mendapatkan pasangan yang sempurna.
Seminggu berlalu, hamba mendatangi taman itu. Langkah kaki bersijingkat dengan sempurna, cepat dan gemulai.
Ketika hamba tiba di tempat itu, tiba-tiba hati hamba melepuh, berterbanganlah harapan yang sempat mewarnai relung hati yang basah dengan tinta penantian. Mawar yang akan hamba persunting, yang akan hamba petik ternyata tak lagi berada di tangkainya. Ia telah luruh ke tanah merah, beserakan tak karuan, tak jelas lagi juntrungannya. Hamba tak habis mengerti, mengapa semua ini harus terjadi? Warna yang tadinya memerah, kini berubah kecoklat-coklatan, menjadi keriput, tak sesegar seperti minggu kemarin. Hamba menghampirinya, duduk termenung seperti seorang bocah yang merengek meminta mainan yang telah rusak. Dengan terbata-bata hamba berusaha menyusun kata-kata, menuai kalimat-kalimat. Namun mulut hamba teramat kelu, tak bisa lagi dengan sporadis menelurkan deretan huruf.
“Selamat pagi. Masihkah ada keinginan untuk menikah dengan ketidaksempurnaanku ? Inilah aku, sang mawar yang sempat membuatmu terkagum. Mengapa wajah anda tercengang dan seolah tak memahami hakikat hidup”
“Mengapa anda menjadi seperti ini? Apakah gerangan yang salah?”
“Tak ada yang patut disalahkan. Ini adalah siklus kehidupan. Hamba hanya bisa bertabah menghadapi takdir yang membelenggu. Ini jalan yang harus hamba jalani.”
“Tak ada yang patut disalahkan. Ini adalah siklus kehidupan. Hamba hanya bisa bertabah menghadapi takdir yang membelenggu. Ini jalan yang harus hamba jalani.”
“Tapi hamba mencari pasangan yang sempurna, Mawar.”
“Jika demikian, aku bukanlah belahan jiwamu.”
“Jika demikian, aku bukanlah belahan jiwamu.”
Hamba beranjak dari tempat itu. Kekecewaan menghantui setiap langkah yang hamba bangun. Air mata menderas.
Mawar yang sempat mencengkram jiwa, kini hanya onggokan ketakutan yang tak pernah hamba mimpikan sebelumnya.
***
Mawar yang sempat mencengkram jiwa, kini hanya onggokan ketakutan yang tak pernah hamba mimpikan sebelumnya.
***
Kini hamba berjalan lagi menyusuri waktu, mencari pasangan yang sempurna. Di tengah perjalanan, hamba melihat merpati yang terbang, menari di udara.
Sayap-sayapnya ia sombongkan ke seluruh penjuru alam.
Sungguh cantik ia, membuat cemburu para petualang.
Sayap-sayapnya ia sombongkan ke seluruh penjuru alam.
Sungguh cantik ia, membuat cemburu para petualang.
Lagi-lagi terbersit sebuah keinginan. Keinginan klasik: Inilah pasangan yang sempurna, semoga hamba bisa mendapatkannya. Merpati itu hinggap di ranting pohonan. Hamba memberanikan diri untuk memulai percakapan.
“Wahai merpati, tadi hamba melihatmu bercengkrama dengan angin. Bulu putihmu yang kudus, menjadikan harapan dalam batin kembali tumbuh.”
“Apa yang hendak anda inginkan?”
“Hamba mencari pasangan yang sempurna. Andalah yang hamba cari.”
“Hamba mencari pasangan yang sempurna. Andalah yang hamba cari.”
“Betulkah aku yang anda cari?”
“Ya tentu. Hamba ingin anda terbang bersama hamba, membangun sebuah keindahan, mengarungi bahtera kehidupan.”
“Ya tentu. Hamba ingin anda terbang bersama hamba, membangun sebuah keindahan, mengarungi bahtera kehidupan.”
“Jika demikian, silahkan tangkap aku. Apabila anda berhasil menangkap diriku, aku berani menjadi belahan jiwa anda. Aku akan belajar menjadi apa yang anda inginkan.”
“Tapi bagaimana mungkin hamba bisa menangkap anda?
Anda mempunyai dua sayap yang indah dan memesona, sedangkan hamba hanya manusia yang bisa menerbangkan imajinasi saja, selebihnya hamba adalah pemimpi yang takut dengan kehidupan.”
Anda mempunyai dua sayap yang indah dan memesona, sedangkan hamba hanya manusia yang bisa menerbangkan imajinasi saja, selebihnya hamba adalah pemimpi yang takut dengan kehidupan.”
“Segala sesuatu mungkin saja terjadi, asalkan ada maksud yang jelas dan lurus. Lebih baik anda pikirkan kembali niatan anda itu. Betulkah aku pasangan yang anda cari? Maaf, hamba aku bercengkrama dulu dengan angin, sampai jumpa.”
Hamba tak bisa berkata banyak, merpati telah terbang bersama angin. Angin, oh…rupanya kekasih sejati merpati adalah angin. Hamba tak mau merusak takdir mereka. Bagaimana kata dunia kalau hamba dengan paksa menikahi sang merpati? Dunia akan mencemooh hamba sebagai manusia paling bodoh yang pernah dilahirkan.
Tapi kemanakah lagi hamba harus mencari pasangan jiwa?
***
Tapi kemanakah lagi hamba harus mencari pasangan jiwa?
***
Itulah kabar hamba dulu. Meniti berbagai penderitaan untuk menyempurnakan segala beban yang melingkar di dasar palung jiwa hamba. Itulah gelagat hamba dulu, seperti seorang pecinta yang berkelana tak jelas arah dan tujuan, menghujani kulit lepuh para bidadari, menjadikan mereka gundah, berenang di atas lautan hampa. Begitu juga hamba. Ya, kabar hamba dulu!
Memekik cinta yang bergemuruh, membadai, bercengkrama, meraja, bersengketa, meracau seperti burung kondor yang rindu bangkai-bangkai kematian. Dulu hamba tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Hamba nyaris seperti mayat yang bergentayangan di siang hari, diperbudak angan-angan, bertubi-tubi mulut hamba memukul angin.
Sampai suatu malam, ketika keheningan mengambang di udara, berderinglah sebuah telepon selular yang teronggok di atas sajadah harapan. Kala itu hamba tidur lelap, mencipta mimpi yang samar. Hamba dibangunkan oleh gemuruh suara ring tone. Anehnya, suara selular itu tidak lagi menggelayutkan melodi seperti biasanya. Suaranya aneh tapi nikmat dan menyejukkan. Kalau tidak salah seperti ini:
Allahuakbar. …Allahuakbar. ..Allahuakbar. .. Kontan saja hamba terhenyak dan sempat kaget. Hamba mencoba memicingkan mata yang berat seperti terbebani satu ton serbuk besi. Di dinding kamar hamba melihat detak jam yang mengarah pada nomor tiga. Masih sepertiga malam.
Siapa gerangan yang berani mengusik persemayaman indah ini? Lalu hamba mulai merunut kata-kata.
“Halo, siapa anda? Mengapa membangunkan hamba? Biarkan hamba beristirahat barang sejenak.” Hening, tak ada jawaban. Hamba pikir, ini pasti gelagat orang jahil yang mencoba berimprovisasi. Tapi ketika hamba mau menutup telepon selular, hamba mendengar suara yang menggelegar. Bukan, suara ini bukan dari telepon selular, tapi dari segala penjuru mata angin. Keringat mulai menghujan, ketakutan bersalaman di batin, air mata tak bisa hamba bendung, dan rasa rindu mencengkram hamba dari belakang, rindu yang tak terdefinisi. Mungkinkah doa-doa hamba yang terdahulu akan terkabul? Siapakah gerangan yang bicara? Setelah bermilyar doa berjejalan di udara, hamba harap sejumput cahaya itu yang bicara Ya, semoga bukan kepalsuan yang bicara. Suara itu makin keras terdengar. Suara itu berkata seperti ini.
“Betulkah kau mencari pasangan yang sempurna?” Dengan terbata-bata hamba bilang,
“Ya…ya..hamba mencari pasangan yang sempurna. Mampukah anda mengabulkan keinginan hamba yang belum terwujud ini?” Suara itu kembali berujar.
“Berbaringlah, lalu tutuplah matamu. Bukalah ketika suaraku tak terdengar lagi.” Hamba ikuti keinginannya.
Hamba tutup mata hamba, dan berbaringlah. Riangnya hati hamba, sebentar lagi hamba akan berjumpa dengan pasangan sempurna. Jodoh hamba akan hadir. Ah, suara itu hening. Hamba mulai memicingkan mata. Hamba lihat di sekeliling. Mengapa yang terlihat hanya gumpalan-gumpalan tanah yang kecoklatan? Mengapa begitu sejuk? Kemudian hamba melihat pakaian hamba.
Putih! Semua serba putih. Bukankah ini kain kafan? Alam barzah, pikir hamba. Lalu hamba melihat sesosok tubuh datang menghampiri, begitu bercahaya, tampan rupawan.
“Siapa anda?”
“Hamba adalah amalan anda. Hamba tercipta dari anda, pasangan sempurna yang anda ciptakan sendiri. Menikahlah dengan hamba, sambil menunggu semua manusia kembali ke alam sunyi ini.”
“Hamba adalah amalan anda. Hamba tercipta dari anda, pasangan sempurna yang anda ciptakan sendiri. Menikahlah dengan hamba, sambil menunggu semua manusia kembali ke alam sunyi ini.”
Begitulah kabar hamba kali ini. Ada lagi yang mau mencari pasangan sempurna?
Cinta Itu Hadir Kembali
Di hari ini aku mendapat kabar darinya, seseorang yang sudah lama menghilang, seseorang yang sudah lama tidak terdengar kabar beritanya dan yang pernah sempat ada dihatiku untuk beberapa lama…Mendengar suaranya seolah keceriaan datang kembali, menghibur hatiku yang sedang galau karena kasihku mulai bertingkah lagi, dia menyakitiku lagi…untuk kesekian kalinya aku merasakan sakit yang teramat sangat karena kasihku yang berada jauh dari pelukanku…
Tapi rasa sakit itu seolah sirna..musnah, setelah aku mendengar suara itu..suara yang sangat aku nantikan, suara yang menyejukan.. membawa keceriaan..suara yang membuat hatiku gembira, suara yang membuatku merasakan bahagianya hidup ini….
O Tuhan…..
Apakah yang terjadi dengan diriku, Cinta itu Hadir kembali…cinta yang sudah lama ingin aku kubur..cinta yang ingin aku lupakan dari ingatanku…
O Tuhan…
Salahkah aku bila aku masih mencintainya sedangkan aku sudah memiliki seseorang yang lain….salahkah hati ini…salahkah perasaan ini Tuhan…
Semoga aku bisa menemukan jawabannya suatu hari nanti……
Tentang Waktu
Tak tahu , ku tak pernah tahu bagaimana mengakhiri kisahkuYang ku bisa hanya meyakinkan diri bahwa semua ini mimpi , ya mimpi . .
Ku biarkan saja mereka mengalir apa adanya , dan . .
Ku jalani semua episode kehidupan yang , tak pernah ku tahu kapan kan usai
Tak ku tahu dan tak kan pernah ku tahu
Semua ini adalah rahasia.Nya
Telah terlulis untukku di setiap detik dan detak jantungku
Mungkin , mentari pun tak tahu kapan ia kan tenggelam tuk selamanya
Begitupun aku yang hanya setitik tanah tak berarti
Sebentar lagi ku kan terbangun dan menyapa cahaya benderang di hadapanku , mungkin dan semoga saja
Ahh..untuk apa ku pikirkan semua ini
Toh , kaki kan tetap saja melangkah
Pun otak tak kan pernah berhenti berpikir dan bekerja menjalankan setiap apa saja yang ada di dalam dan luar raga ini
Masa lalu , sudahlah . . untuk apa di lihat lagi
Jauh sana di depan cahaya menanti tuk ku sentuh dan kugenggam erat
Kini langkahku kian cepat dan kadang melambat pelan
Karena lelah akan sesuatu yang itu-itu saja
Dan juga jengah oleh perkataan dan pertanyaan setiap orang tentang masa lalu yang sesungguhny telah ku kubur dan ku kunci di dalam waktu .
Mukjizat Cinta
Bulan September waktu itu, ketika aku begitu dekat dengan wanita itu, wanita bernama Tiwi, pratiwi Zakhrotuni tepatnya. aku juga telah begitu dekat dengan dia, tapi tidak disini, tidak di alam ini tapi di alam mimpi. Oleh karena itu, begitu aku dekat dengan dia maka aku berusaha untuk menyampaikan apa yang aku rasa dan apa yang aku alami di alam itu, tapi terlalu susah untukku mengutarakan semua itu, aku tidak ingin kedekatan ini akan berubah jika aku mengatakannya.
Sudah lama ya, kita tidak melihat bintang-bintang?” kata Tiwi sambil melihat ke arah angkasa. Ke arah langit gelap yang dipenuhi bintang. Menatap bintang-bintang. Juga menatap rembulan.
“Ah, tidak juga,” jawabku santai. “Sudah lama!” “Tidak juga.” Aku perhatikan Tiwi sejak tadi. Ia terus menerus menatap ke arah langit. Menatap bintang-bintang dan bulan. Menikmati keindahan malam. Menikmati keindahan ciptaan Tuhan. “Eh, sudah lama ya kita tidak melihat bintang-bintang?”
tanya Tiwi lagi. Sekali lagi ia bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Tidak juga.” “Kamu ini bagaimana sih?” “Lho apanya?” “Kita kan sudah lama tidak melihat bintang-bintang di langit?”
“Baru enam bulan yang lalu, Tiwi sayang.” “Berarti sudah lama kan?” “Iya deh.” Tiwi terus saja menatap ke arah langit. Mengamati bintang-bintang di langit. Mengamatinya satu persatu. Juga mengamati bulan. Tapi ia lebih suka mengamati bintang-bintang. Terkadang ia suka membawa teropong untuk melihat bintang-bintang. Kami memang selalu ke tempat ini. Sebuah tempat terpencil di luar kota dan di bawah kaki sebuah gunung besar. Aku hanya menemaninya saja. Terus terang saja aku cuma suka melihat bintang-bintang tanpa perlu mengetahuinya,
“Hei, aku mengajak kamu ke sini untuk bersenang-senang!” gerutunya kesal. Tiwi bangkit dan berkacak pinggang. Berpaling ke arahku sambil melotot.
“What?” Aku bertanya-tanya. Masih sambil berbaring. Melihat ke atas. Melihat ke bintang-bintang. Juga menatap rembulan. Ia masih saja berkacak pinggang dan cemberut. Aku langsung memeluknya. “Jangan ngambek dong.” “Hmmm.” Ia tidak menjawabnya, malah tersenyum manja. “Ayo kita lihat bintang lagi.” Kami pun berbaring di rerumputan. Kembali melihat bintang-bintang dan menghitungnya satu-persatu. Menatap keindahan bintang-bintang sambil mengunyah biskuit yang kubawa. Betapa indah dan megahnya ciptaan Allah Semesta Alam.
“Hei, lihat ada bintang jatuh!” ujarnya sambil menunjuk sebuah bintang jatuh. Tingkahnya tentu saja lagi-lagi mengagetkan aku yang masih mengunyah biskuit. Hampir saja aku tersedak. “Hmmm.” “Make your wish!” “Buat apa?” tanyaku dengan heran, dengan mulut penuh biskuit. “Kata orang-orang kalau ada bintang jatuh, make your wish and your wish will come true!” jawabnya bersemangat. “Aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, aku lebih percaya dengan Tuhan.” “Lho, apa salahnya?” “Baiklah!” Aku berkomat-kamit tidak jelas layaknya seorang dukun. Dan, supaya Tiwi tidak mengetahui apa yang aku inginkan. “Sudah?” tanyanya penuh selidik. Aku cuma tersenyum. “Bolehaku tahu?” cecar Tiwi. “Tidak boleh dong,” jawabku. Masih sambil mengunyah biskuit renyah yang kubawa waktu itu.
Itulah Tiwi wanita bertubuh mungil yang cantik dan selalu riang, selalu penuh dengan cerita-cerita dan terus bersemangat, dan memberiku banyak arti, kata orang aku saat itu hanyalah seorang yang pendiam, dan akupun bukanlah orang yang populer. tetapi tiwi sangat antusias dan ingin dekat dengan ku. Sungguh aku mencintainya.
************ ********* *****
Baru sekarang aku sadar sepenuhnya. Ternyata Aku hanya bermimpi. Mimpi menjejakkan langkah kakiku pada waktu lalu. Mimpi menggantungkan rasa ku di kolong langit dalam memandang bintang bersama tiwi. Mimpi menghitung barisan bintang. Mimpi dipeluk hembusan angin. Mimpi bercinta dengan bidadari di sepanjang malam bersama Pratiwi.
Aku terjaga malam ini. Kulihat weker mungilku menunjukkan waktu telah lewat tengah malam. Setengah dua lebih sepuluh menit. Kamar ini masih terang karena belum sempat kumatikan saat aku tertidur sambil mendekap dua lembar kertas surat yang kuterima tadi siang.
Setelah waktu berlalu 22 tahun perpisahan dengan tiwi. Pagi itu, seperti biasanya tak beda dengan sebelumnya. Kalender yang tetap berupa angka-angka, dengan catatan sana sini tentang kegiatan harian Kantorku yang juga tak berubah.
Sesaat aku tertegun dan tersadar melihat tanggal yang sengaja kuberi lingkaran spidol biru. Hari ini tepat ulang tahunku ke empat puluh empat tahun. Hampir saja aku melupakannya. Masih muda, kata Mijan temanku. Banyak penggemar Kamu yang suka bapak-bapak kayak kita lho, matang dan pengalaman, tambahnya sambil tergelak.
Sambil bersandar di kursi, kupejamkan mataku. Waktu melesat secepat anak panah dilepas dari busurnya. Seperti Arjuna menarik Pasupati-nya saat berhadapan dengan Adipati Karna dalam perang Bharatayudha. Begitu juga usiaku. Semakin tua dan tetap sendirian. Hari demi hari yang diisi dengan Menulis, menjadi Wartawan Investigasi Menelisk berita baik di lapangan maupun di perpustakaan. Belum lagi pekerjaan lain yang aku suka, menulis cerpen yang sering bermunculan di media cetak, dan mengundang penerbit untuk menjadikannya kumpulan dalam sebuah buku.
Orang bilang aku gila kerja, tapi aku tak peduli, karena hanya itu yang bisa mengisi hari-hariku yang sepi. Mereka memang tak tahu, aku hanya sendirian di rumah. Pembantuku, Mbak Inah yang rumahnya tak jauh hanya datang pagi dan pulang sore. Aku tiba di rumah sudah malam, dengan lelah yang sering tak bisa mengantarku membaca buku atau Koran. disaat senggang aku sangat menyukai dengan membaca. Tapi tahu apa mereka tentang kesendirianku? Saat aku suka merenung belakangan ini, sambil
Berdzikir dan sholat malam, “Ya Allah! Aku mengharapkan (mendapat) rahmatMu, oleh karena itu, jangan Engkau biarkan diriku sekejap mata (tanpa pertolongan atau rahmat dariMu). Perbaikilah seluruh urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Itulah doa yang sering kupanjatkan setiap malamku tanpa pernah terlewat setiap malamku
Kadang Setelah sholat malam mataku pun sering susah terpejam, dan aku sering membiasakan jemariku mengetikkan kata-kata dalam cerpen. Terkadang puisi yang juga aku suka, dan kuselipkan dalam jalinan cerita tokoh di cerpen. Puisi yang memberi rasa puas diri dari segala sunyi diri. dan mengenang Tiwiku sayang.
Aku tak salahkan mereka, karena memang ini menjadi bagian dari masa silamku yang kusimpan rapat-rapat. Dan kini di saat ulang tahunku yang memang tak mesti dengan lilin atau kue tart, ada rasa nyeri menyeruak di dada. Ya, kesepian ini menghujam tak lagi menanti malam, tapi di saat aku sendiri di ruang kerjaku.
Penggalan-penggalan masa lalu berdatangan tak disuruh. Kadang menjadi utuh seperti puzzle, kadang buyar terlempar ke sana kemari tak bisa kupungut lagi. memang terkadang aku masih teringat Tiwi. wanita yang spesial yang sampai saat ini aku tidak tahu dimana rimba keadaanya.
************ ********
Sepi apa ini yang kurasakan? Karena tanpa kekasih? Mungkin. Karena pastilah ini berkaitan dengan Masa lalu yang masih menumbuhkan luka dalam jiwaku. Luka dari dua puluh lima tahun lalu. Ketika aku masih mahasiswa di tahun pertama di suatu Universitas Negeri di Depok dan menjalin kasih dengan Pratiwi Zakhrotuni yang teman sekampus. Gadis cantik keturunan Semarang dengan rambutnya yang sebahu, kulitnya mulus dan bibirnya sensual ini sejak awal memang menarik perhatianku. Sama-sama suka dan menjalani aktivitas di koran kampus, akhirnya dia dekat hingga aku berhasil merebut hatinya.
Kedekatan kami tak cuma dalam kegiatan saja. Bahkan menimbulkan kejadian yang tak terhindarkan. Tiwi hamil setahun kami berpacaran. Cinta kami melenyapkan rasio yang biasanya bertengger di kepala, seperti ketika membahas naskah-naskah koran kampus atau diminta teman-teman senat membuat poster dan spanduk. Ketika kuajak menikah, dia menolak karena tak berani bicara dengan orangtuanya, yang sangat mengidamkan puterinya menjadi sarjana, selain perbedaan status sebagai orang kaya di daerahnya, dan masih keturunan ningrat dari keraton yogyakarta.
Tapi aku tak mau menyerah begitu saja. Kuberanikan diri menghadap orangtuanya, untuk melamar anaknya. Langsung saja aku ditolak, bahkan ditambahi dengan semprotan kata-kata kasar, yang kuterima dengan sabar. Bahkan ketika kakaknya yang berbadan besar seperti petinju hendak memukulku, aku diam saja melihatnya dicegah oleh ayah Tiwi.
Sekembalinya ke Jakarta, saat aku sedang memikirkan jalan terbaik terhadap masalah ini, Tiwi menghilang. Dari beberapa teman dekatnya, tak satupun yang tahu kemana dia pergi. Aku juga tak yakin dia kembali ke orangtuanya.
Sejak itu aku diliputi rasa bersalah dan kehilangan yang sangat. Kuselesaikan kuliah Akutansiku dengan lebih cepat dari yang kurencanakan. Lalu aku mengajar di suatu media cetak nasional sebagi wartawan, sambil terus menulis. Aku juga terus melacak keberadaan Tiwi, hingga ketika menghadiri suatu simposium tentang Akutansi Keuangan Daerah, saat otonomi daerah di indonesia mulai tumbuh. yang berlokasi Di Semarang, kusempatkan ke rumahnya. Sia-sia juga, karena diberitahu oleh adiknya jika Tiwi tak ada di rumah, lalu pintu itu langsung ditutupnya dengan pandangan curiga.
Di tengah keberhasilanku menggondol gelar sarjana, dan dengan waktu tak lama menjadi pegawai tetap di Media tersebut, tekanan batinku tak juga lenyap. Tiwi selalu hadir dalam mimpi-mimpiku, di tengah rasa berdosaku. Kuhamburkan waktuku dengan sibuk mencari berita dan menulis cerpen, yang hampir tiada hentinya. Bahkan, aku berhasil menelorkan dua novelku yang makin membuat namaku dikenal di ranah sastra.
Aku, Bayangan Tiwi, dan Gugusan Gemintang malam Tak ada kata apa-apa yang mampu untuk kuucapkan. Hanya angin yang masih mau berhembus mengelus-elus aku bahkan merasakan suatu memori masa muda yang sangat indah ketika bertemu dengan Tiwi Aku serasa ingin mendekapnya untuk sekian lama, untuk mengobati kehilangan setelah sepuluh tahun tak bertemu.
Pernah memang kuisi sepi itu dengan mengencani penggemarku yang memang kebanyakan wanita, atau wanita muda yang makin berani menunjukkan minatnya terhadap lelaki. Benar kata Mijan, mereka suka pria dengan kematangan yang tak ada pada diri teman sebayanya.
Namun, tetap saja Tiwi menjadi bayangan yang tak bisa hilang dari diriku. Upayaku tak henti untuk mencari kabar tentangnya. Tapi sepertinya dia lenyap ditelan bumi. Tak satupun yang mampu tahu dimana dia kini. Rasa putus asa telah melanda diriku.
Dunia yang menyesakkan. Kadang aku merasa ingin lari-keluar batas dari limit waktu , mengembara-kemana saja. Ke seluruh penjuru dunia. Mengikuti angin yang berhembus. Mengikuti arus air di sungai. Mengikuti goyangan kelepak sayap burung-burung.
Hanya Mijan yang tahu keadaanku, tapi juga tak berdaya. Aku ingat, ketika dia menikah dan aku datang menyalaminya, dia memelukku dengan erat. Lalu sambil bercanda kepada isterinya dia berkata,”Dik, coba carikan dong jodoh buat kawan kita ini.” Saat itu aku hanya nyengir kuda saja, sambil berpamitan karena ditunggu teman-teman wartawan lainnya.
Harus kuakui, meski bercanda tapi ucapan Mijan terasa menusuk hati inijuga membuatku ingin membagi sepi ini. Tapi lagi-lagi aku alami kegagalan. Sempat aku dekat dengan Risna, Febi, Dwi dan Santi tapi mereka tak mampu menepis kehadiran Tiwi. Kadang jika aku putus dengan salah satu wanita itu, Mijan biasanya meledekku sebagai wartawan playboy yang tak Cuma jadi favorit wanita, malah ibu-ibu pun suka. ucap mijan.
Kujalani semua ini seperti sungai yang mengalir mengikuti kelokannya. Ibuku di sudah berulang kali menanyakan kapan aku memperkenalkan calon menantunya, tapi tetap kujawab dengan Gampanglah, nanti pasti ada”. Maklum saja, sebagai anak pertama dengan tiga adik yang semuanya sudah berumah tangga, ibu cemas dengan keadaanku yang masih betah membujang. Apalagi aku anak kesayangannya, pengganti bapak yang sudah meninggal ketika menjalankan tugas sebagai tentara waktu perang ke Aceh.
Tentu saja tak pernah kuceritakan pada ibu, kenapa aku belum juga berumah tangga. Biarkan mereka menduga aku belum menemukan wanita yang cocok, meski beberapa kali ketika aku pulang, ibu danlainnya pernah memperkenalkan aku dengan puteri-puteri kenalan mereka, maksud ibu untuk menjodohkan aku.
Kini, saat kulihat kalender tadi dan ulang tahunku tiba tanpa ada suatu apapun yang bisa kubagi dengan orang lain, kurasakan suatu perasaan yang menimbulkan lubang dalam jiwaku.
Apakah jalan hidup yang kupilih selama dua puluh lima tahun ini betul? Kalau ya, kenapa aku menutup hati setiap datang wanita lain. dan aku sering bergumam sendiri “Perhatikanlah dunia yang tertawa. Dengan senang hati, tanpa adanya dirimupun kehidupan terus berjalan, masih berlangsung. Dan, dunia masih terus berputar. Kadang-kadang kita merasa sedih, ada atau tidak ada diri ku sama saja. Seperti aku diacuhkan. Sepertinya aku tak berarti lagi. Sebab, kehadiran tanpa bentuk jiwa ,sangatlah tidak mengenakkan suasana.”
************ ********* *
Ketika aku terus melamunkan hal itu, dan merasa tenang tanpa gangguan dari Rekan kantor lain. seperti biasanya, aku agak melonjak kaget ketika pintu ruang kerjaku diketuk. Segera kusahut untuk masuk saja karena pintunya memang tak pernah terkunci.
Salah satu wartawan baru, yang cantik dengan rambutnya dikepang, kalau tidak salah dia pernah ikut aku dalam mencari berita di lapangan masuk dengan langkah pasti setelah menutup pintu ruang kerjaku kembali. Aku kenal dia, Leika Pratiwi Subaeriadi namanya karena pernah menilai hasil tulisan beritanya, yang menarik dan cerdas. dan aku suka wanita yang pintar.
Pada awal mengenal lieka, aku sempat bergumam dalam hati Subaeradi, sebuah kemiripan dengan nama belakang ku Mohammad Asrulius Alexsander Sobaeradi. memang nama ku panjang, mijan sering meledek aku engga nikah-nikah karena kepanganjangan nama. dalam hati berkata “ah, nama Sobaeradi, kan banyak, Lagian kan ejaannya beda, Aku Sobaeradi dan dia Subaeradi” pikirku menepis pikiran aneh yang terlintas di benakku
“Pak, maaf jika saya mengganggu, bolehkah saya minta waktu sebentar soal tulisan berita” ucap laika kepadaku
“Silahkan,” kujawab dengan pendek. Lama-lama menatap wajah leika yang lonjong dengan tahi lalat dekat bibirnya, kulitnya yang putih mulus dan bibir semanis madu ini, membuatku agak tertegunsejenak. Tapi segera kutepiskan pikiran macam-macam dari diriku, karena ada sesuatu yang melintas entah apa.
“Saya merencanakan membuat Berita Korupsi ini,”katanya dengan suaranya yang lembut. “Saya ingin Bapak menjadi Penasihat Berita saya. Itu jika Bapak bersedia, dan saya harapkan sekali kesediaannya, Karena bapak adalah wartawan senior di kantor ini.”
“Apa Beritanya bisa menjual ” tanyaku Kepada Leika
Dengan lugas dia sampaikan tema yang akan dibahasnya, tentang kondisi korupsi seorang Anggota DPR yang ditanggkap Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikaitkan dengan problema sosial saat ini. Aku suka pemilihan temanya, yang kurang banyak dilirik oleh wartawan lainnya. Apalagi semangatnya tampak sekali ketika memberikan penjelasan disertai gerak tangan yang lincah percaya diri.
“Kenapa tertarik memilih tema ini?”
“Menurut saya, Korupsi ini fenomena yang menarik untuk diamati, dan mempunyai nilai jual tinggi pak. dan masalah korupsi saat ini sangat diminati oleh para pembaca berkait dengan semaraknya korupsi Di Indonesia, dan saya menambah kan dampak Korupsi dalam Pembangunan kehidupan bermasyarakat pak, itulah alasan saya, memilih berita ini utuk di cetak pada edisi besok.”
“Jika begitu, buat saja Draftnya seperti biasa, dan nanti tolong kasih saya ya ” kataku sambil sembunyikan kekagumanku atas argumentasinya itu.
Tak menunggu lama, leika segera mengirimkan draf rancangan dari map merah jambu yang diambil dari atas meja kerjanya Hmm….aku suka anak ini, gesit dan percaya diri. “Ini, Pak, silahkan periksa,” ujarnya.
Sepintas saja aku sudah tahu, pola pikir dan alur pemikirannya runtut serta sistematis. Pantas anak ini bisa di rekrut menjadi wartawan di media ini oleh bagian HRD, apa yang ada di dalam tulisan berita ini menggambarkan kecerdasannya.
“Jika Bapak setuju, saya minta bapak untuk menandatangani draftnya Tulisan ini bisa segera diberikan kepada dewan redaksi,” tegasnya.
Komentar
Posting Komentar